Topeng Jatiduwur adalah seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Pertunjukan ini melibatkan penari bertopeng yang dipimpin oleh seorang dalang, mengisahkan cerita-cerita klasik dari Sastra Panji, seperti kisah Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji. Keunikan pertunjukan ini terletak pada perpaduan seni tari, musik, dan teater tradisional yang kaya makna simbolik dan spiritual.
Asal-usul Topeng Jatiduwur ditelusuri hingga akhir abad ke-19, dibawa oleh seorang tokoh sakti bernama Ki Purwo yang berasal dari Gresik. Ia diyakini sebagai pendiri tradisi wayang topeng di desa tersebut dan dihormati sebagai sesepuh desa. Warisan budaya ini kini dijaga oleh Sumarni, generasi keenam dari garis keturunan Ki Purwo, yang masih merawat 33 topeng beserta properti pertunjukan lainnya.
Menariknya, Topeng Jatiduwur tidak sekadar pertunjukan seni, tetapi juga memiliki fungsi ritual sebagai sarana pemenuhan nadzar bagi masyarakat. Setiap 1 Sura, topeng-topeng tersebut diruwat dan diupacarai, menunjukkan nilai spiritual dan kesakralan yang melekat pada tradisi ini. Meski sebagian besar pemainnya adalah orang-orang tua, revitalisasi yang sedang berlangsung mulai melibatkan anak-anak muda, terutama dalam peran pendukung seperti tarian.
Pada tahun 2018, Topeng Jatiduwur resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Surat Keputusan Nomor 264/M/2018. Karya budaya ini masuk dalam domain Seni Pertunjukan, menegaskan pentingnya pelestarian tradisi lokal yang telah diwariskan lintas generasi .
Penetapan ini merupakan bentuk pengakuan terhadap nilai sejarah, budaya, dan spiritual Topeng Jatiduwur. Namun, pengakuan tersebut harus ditindaklanjuti dengan upaya nyata berupa pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan tradisi Topeng Jatiduwur di tengah arus modernisasi, sekaligus membuka ruang kreativitas dan partisipasi generasi muda dalam menjaga warisan budaya bangsa.