Nama “Lontong Balap” konon berasal dari kebiasaan para penjualnya yang dahulu menjajakan dagangan sambil berlari kecil atau berjalan cepat, seolah sedang “balapan.” Dahulu, penjual membawa dagangan dalam pikulan, yang terdiri dari panci besar berisi kuah dan bahan-bahan lain di satu sisi, serta lontong dan pelengkap lainnya di sisi lain. Untuk mendapatkan tempat terbaik di pasar atau area strategis, mereka sering bergerak cepat, sehingga muncul istilah “balap.” Lontong Balap merupakan makanan yang terdiri dari irisan lontong yang disiram kuah gurih berbahan dasar kaldu kacang kedelai, disajikan bersama tauge, tahu goreng, lentho (gorengan dari kacang tolo), serta taburan bawang goreng dan sambal. Yang membuatnya istimewa adalah lentho dan kuahnya yang khas, serta penggunaan kecap manis khas Jawa Timur. Perpaduan rasa gurih, manis, dan pedas menciptakan sensasi yang menggugah selera, biasanya lpntong balap disajikan dengan sate kerangm kerupuk udang, dan minuman es kelapa muda yang berfungsi sebagai Penawar untuk alergi pada sate kerang.

Lontong Balap tidak hanya menjadi makanan sehari-hari, tetapi juga bagian dari identitas lokaldi Jawa Timur, di mana ia hadir dalam berbagai acara tradisional, pasar rakyat, hingga festival kuliner. Lontong Balap mencerminkan nilai gotong royong, dari proses pembuatannya yang sering melibatkan keluarga hingga interaksi sosial antara penjual dan pembeli yang menciptakan ikatan kebersamaan. Pada era modernisasi dan globalisasi, pelestarian kuliner tradisional seperti Lontong Balap menjadi tantangan tersendiri, namun melalui promosi kuliner lokal, festival budaya, hingga inovasi dalam penyajian yang tetap mempertahankan cita rasa asli, Lontong Balap dapat terus hidup di tengah masyarakat dan dikenal lebih luas. Pelestarian terhadap kuliner tersebut turut menjaga jati diri dan warisan budaya lokal, sehingga Lontong Balap mendapatkan tempat sebagai bagian dari warisan budaya tak benda yang harus dijaga kelestariannya.