Mengenal Tokoh Dewa Ruci Dalam Tradisi Pewayangan Jawa Timur

Dewa Ruci merupakan salah satu tokoh penting dalam tradisi pewayangan Jawa, khususnya dalam lakon yang dikenal sebagai Bima Suci. Kisah ini sangat populer dalam pewayangan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dengan beberapa variasi dalam penceritaannya Dalam tradisi pewayangan di Jawa Timur, kisah Dewa Ruci memiliki karakteristik yang lebih dinamis dan sering ditampilkan dalam gaya wayang kulit gaya Surabaya atau Madura, yang lebih lugas dan penuh semangat. Dewa Ruci digambarkan sebagai sosok dewa kecil bercahaya, seringkali mirip dengan Bima, namun dalam ukuran lebih kecil atau mini. Dewa Ruci dianggap sebagai perwujudan dari kebijaksanaan tertinggi dan keilahian dalam diri manusia. Dalam versi pewayangan Jawa Timur, Dewa Ruci lebih banyak ditekankan pada aspek spiritualitas dan pengembaraan batin.

Dalam seni pertunjukan wayang kulit, Dewa Ruci muncul ketika Bima (Werkudara), salah satu Pandawa, mencari “Tirta Perwitasari” atau air suci kebijaksanaan. Guru Durna menyuruh Bima untuk mencarinya sebagai ujian, namun sebenarnya itu jebakan agar Bima binasa. Setelah melewati berbagai rintangan, akhirnya Bima bertemu dengan Dewa Ruci di dasar samudra. Dewa Ruci mengajarkan ilmu sejati kepada Bima, termasuk hakikat hidup, kesempurnaan, dan kebenaran sejati. Bima, kemudian masuk ke tubuh Dewa Ruci dan mendapatkan pencerahan tentang alam semesta dan hakikat diri.

Makna Filosofis tokoh Dewa Ruci dalam tradisi pewayangan Jawa Timur kisah Dewa Ruci dalam versi Jawa Timur lebih menekankan pada ajaran spiritual dan kesadaran diri yang mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati bukan dicari di luar, tetapi ditemukan dalam diri sendiridalam kisah mengenai tokoh Dewa Ruci juga engandung ajaran kejawen dan nilai-nilai tasawuf dalam budaya Jawa. Dewa Ruci dalam tradisi pewayangan Jawa Timur merupakan simbol pencarian jati diri dan kesempurnaan spiritual. Kisahnya dalam lakon Bima Suci mengajarkan bahwa kebenaran tertinggi bukan didapatkan dari dunia luar, tetapi melalui perenungan dan pemahaman diri. Hal tersesbut sejalan dengan filosofi kejawen dan ajaran kebatinan yang berkembang di Jawa Timur.